Elisa Jirey Barus (2021)
Pada 1 Februari 2021, politik Myanmar memasuki babak baru. Pasukan junta militer Myanmar mengambil alih paksa pemerintahan dan menahan Perdana Mentri Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan tokoh politik NLD (Partai Liga Nasional untuk demokrasi) lainnya. Tindakan ini dilakukan setelah pihak militer menuduh NLD melakukan kecurangan pada Pemilu yang diadakan pada November 2020 lalu. Kudeta ini mendapatkan respon yang keras dari rakyat Myanmar. Ratusan ribu rakyat Myanmar turun ke jalan melakukan protes penolakan atas kudeta yang sedang terjadi di seluruh penjuru negeri. Rakyat meminta pihak militer untuk melepaskan Aung San Suu Kyi dan tokoh politik lainya. Seluruh rakyat dari berbagai kalangan bersatu untuk melakukan aksi protes. pihak militer Myanmar merespon aksi protes ini dengan respon yang berlebihan. Aksi demontrasi yang terus terjadi membuat pihak militer menggunakan kekerasan dan senjata untuk membubarkan demonstran.
Kini, setelah dua bulan sejak kudeta terjadi, banyak korban sipil yang berjatuhan. Dilansir dari detik News, tercatat 618 orang meninggal dunia dan banyak demonstran yang telah ditangkap. Banyak rakyat sipil yang mengungsi dari kota-kota, bahkan sebagian telah melewati wilayah perbatasan akibat tindakan militer Myanmar yang semakin represif. Ada beberapa kasus dimana demonstran tewas saat berdemontrasi, bahkan ada anak-anak yang menjadi korban. Mereka juga menangkap warga yang diwawancarai oleh salah satu media internasional. Tidak hanya itu, junta militer juga sudah melakukan pemutusan koneksi internet. Kejadian ini menunjukkan bahwa mereka telah melakukan pelanggaran HAM kepada warga sipil. Melihat hal ini, rakyat Myanmar mulai melakukan perlawanan terhadap polisi dan militer Myanmar. Usaha perlawanan mereka yaitu dengan melakukan mogok kerja, bahkan ada sebuah aliansi etnis yang menyerang sebuah kantor polisi di Naungmon di negara bagian Shan timur pada Sabtu pagi. Bentuk perlawanan yang diberikan oleh masyarakat sipil ini menunjukkan kedaulatan negara mulai melemah dan berpeluang menjadi perang saudara. Dengan kondisi saat ini, negara asing dan organisasi internasional harus memberikan bantuan dan intervensi agar Myanmar tidak menjadi negara gagal (fail state). Intervensi ini juga diperlukan untuk menjamin keamanan kawasan asia tenggara dan asia selatan tidak terganggu.
Beberapa negara seperti AS dan organisasi internasional seperti PBB dan lembaga HAM internasional, beberapa contohnya adalah Burmese Rohingya Organization UK (BROUK) dan the International Federation for Human Rights (FIDH) mulai menunjukkan respon keras melihat kejadian ini. PBB sudah memberikan peringatan bahwa akan ada sanksi berat bagi Myanmar jika massa aksi ditekan dengan cara represif, sedangkan Inggris dan AS menganggap alasan pihak militer hanya alasan yang dibuat -buat. Presiden AS, Joe Biden sudah memberikan instruksi berupa kontrol ekspor yang kuat, pembekuan aset AS yang menguntungkan pemerintah Burma, dan memberikan dukungan perawatan kesehatan pada kelompok masyarakat sipil. Di belahan dunia lain, Inggris saat ini memberikan perlindungan bagi Duta besar Myanmar untuk Inggris yang diusir oleh atase militer Myanmar karena duta besar tersebut membela kepentingan rakyat Myanmar. Aksi atase militer inipun dikecam oleh kementerian luar negeri Inggris. Inggris dan beberapa negara lainnya mengutuk keras tindakan semena-mena militer Myanmar pada rakyat sipil. Organisasi HAM Internasional juga mendesak dunia dan bisnis internasional untuk memberikan sanksi berat pada junta militer Myanmar saat ini. PBB juga sedang menyiapkan sanksi dan mengirim utusan untuk menyelidiki masalah ini. Dengan kecaman dunia dan ancaman sanksi nyatanya tidak mengubah sikap junta militer. Dengan terputusnya koneksi internet dan penangkapan yang semena-mena, maka PBB dan negara lainnya tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk mengintervensi mereka (Myanmar) karena rakyat Myanmar membutuhkan bantuan dan jaminan keamanan karena negara mereka tidak lagi menjamin hal itu bagi mereka.
seluruh pandangan dari tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak merepresentasikan PCD Studies Center.
0 Komentar