Salsabila (2021)

KRI Nanggala saat berangkat menuju tugas (sumber : Bangkok Post)

Dalam media mainstream seminggu terakhir, musibah tenggelamnya KRI Nanggala 402 dimaknai sebagai momen evaluasi dan audit Alat Utama Sistem Senjata (ALUTSISTA) TNI. Di media sosial, banyak warganet yang menyoroti bantuan luar negeri dari Malaysia, Singapura, Australia, Inggris, hingga Amerika Serikat. Aplikasi video Tiktok yang membingkai persaudaraan atas rasa kemanusiaan diantara negara-negara ini ribuan kali dibagikan hingga lintas medsos. Atmosfer sedih karena kehilangan 53 putra terbaik Indonesia bercampur aduk dengan emosi kecewa dari sebagian pihak yang menyayangkan alutsista TNI yang kurang modern karena distribusi anggaran yang lebih mengutamakan kesejahteraan, di sisi lain rasa persatuan dan persahabatan dengan negara lain juga ikut tumbuh seiring dengan adanya bukti kepedulian negara lain pada Indonesia.

Terlepas dari persoalan alutsista yang kurang modern, penulis menyoroti rasa persahabatan dengan negara lain yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat. Jika kita berbicara mengenai bantuan luar negeri dari sudut pandang politik, maka tidak akan terpisah dari kecurigaan negara penerimanya. Sebagai sebuah negara penerima bantuan yang disebut sebagai “bantuan kemanusiaan” Indonesia tentunya harus waspada mengingat adanya potensi “udang dibalik batu” yang mungkin saja sewaktu-waktu, udang tersebut akan keluar dan meminta bayaran. Ketika banyak orang mengkritik anggaran untuk alutsista yang terlalu minim, penulis ingin mengajak pembaca agar tidak terlalu bersimpati pada bantuan luar negeri yang diterima oleh Indonesia.

Kekurangan seperti Jiwa yang polos atau pemikiran yang sempit kemungkinan tidak akan bisa melihat maksud tersembunyi dibalik bantuan asing yang diterima Indonesia. Kedua kekurangan tersebut akan menganggap negara asing rela membantu Indonesia karena jiwa kemanusiaan yang terketuk, atau karena adanya rasa persatuan diantara negara tetangga dengan Indonesia. Apakah tindakan negara untuk membantu negara lain dikarenakan alasan yang normatif seperti yang sudah disebutkan? Jika dilihat dari sudut pandang politik maka jawaban penulis adalah tidak.

Saat KRI Nanggala 402 tenggelam, Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono meminta bantuan pada organisasi militer internasional yaitu International Submarine Escape and Rescue Liaison Office (ISMERLO), tentunya tindakan ini sudah disetujui oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. “sudah menjadi kesepakatan di dalam konferensi siapa pun yang mengalami kedaruratan wajib memberikan bantuan keselamatan. Semuanya untuk membantu kemanusiaan, tidak ada politik”, ujar Laksamana TNI Yudo Margono dalam Konferensi Pers. Pernyataan ini terlalu normatif, mengingat ISMERLO adalah bagian dari North American Treaty Organization (NATO) yang identik dengan kekuatan Barat, ditambah dengan datangnya dua negara pendiri NATO yaitu AS dan Inggris ke Indonesia membawa teknologi canggihnya. Penulis mencurigai bantuan dari AS dan Inggris sebenarnya merupakan unjuk kekuatan mereka. Logikanya, Inggris khawatir kemajuan dari militer Indonesia akan mengancam Singapura dan Malaysia, sehingga dalam kesempatan ini Inggris memboyong Singapura dan Malaysia untuk sama–sama menunjukan kekuatan militernya pada Indonesia. AS sudah pasti ingin menunjukan pengaruhnya di Asia Tenggara, atau mendekati Indonesia yang akhir-akhir ini mempunyai hubungan hangat dengan Tiongkok.

Bantuan luar negeri seharusnya tidak direspon dengan terlalu bersimpati, bantuan luar negeri dari negara lain bisa saja menjadi masalah di masa yang akan datang. Indonesia tentunya boleh saja menerima bantuan dari negara lain, tetapi perlu diingat bahwasannya dalam hubungan internasional tidak ada bantuan yang memiliki alasan murni karena kemanusiaan.

 

seluruh pandangan dari tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak merepresentasikan PCD Studies Center.

 

0Shares
Kategori: Opinion

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *