Salsabila
(2022)
Perusahaan Facebook resmi mengganti nama dari Facebook Inc (FB.O) menjadi Meta Platform Inc, rebranding ini dilakukan agar ada perbedaan yang jelas antara nama media sosial dan nama sebuah perusahaan. Tetapi di sisi lain, rebranding ini menunjukan optimisme Mark Zuckerberg menguatkan bisnisnya di dunia baru yang disebut Metaverse. Bagi Zuckerberg, Metaverse adalah masa depan internet sehingga ia berani menggelontorkan dana miliaran dollar untuk membangun Metaverse. Metaverse tampaknya menjadi isu yang seksi ketika membicarakan konsep masa depan sebab Metaverse tampak begitu futuristik, walaupun sebenarnya ide mengenai Metaverse sudah ada sejak tahun 1920 melalui novel Snow Crash karangan Neal Stephenson. Metaverse akan menawarkan kehidupan alternatif yang sangat nyata bagi kita melebihi media sosial yang kita kenal sekarang. Pada Instagram, Twitter dan Facebook masih terdapat pagar pemisah antara kehidupan nyata dengan kehidupan maya tapi melalui Metaverse, kehidupan nyata dan kehidupan maya akan menjadi lebih bias dibanding medsos yang ada saat ini. Metaverse bisa mentransformasi segala kegiatan di dunia nyata ke dunia virtual. Melalui Metaverse, pengguna bisa membangun rumah, belanja, menonton film, membeli tanah, berbisnis bahkan menonton konser -Ariana Grande menjadi penyanyi pertama yang melakukan konser di Metaverse- jika Metaverse bisa mewadahi kehidupan manusia dari aspek sosial dan ekonomi maka Metaverse juga bisa mewadahi kehidupan manusia dari aspek politik. Tampaknya bukan hal yang mustahil untuk melakukan pemilu di dunia Metaverse.
Metaverse sebagai sebuah teknologi tampaknya juga akan bernasib sama seperti televisi. Awalnya sebagai media hiburan yang menayangkan kesenangan, kemudian akan berubah menjadi alat politik seiring berjalannya waktu. Tampaknya teknologi merupakan alat politik yang menjanjikan. Pada kasus media sosial misalnya, penggunaan media sosial sebagai alat kampanye sangat populer dalam sepuluh tahun belakangan ini padahal tujuan awal media sosial adalah untuk berinteraksi dengan teman dan keluarga. Adanya intervensi teknologi terhadap proses demokrasi sudah terjadi sejak digunakannya komputer secara masif dan menjadi sangat berpengaruh ketika media sosial ramai digunakan. Melalui media sosial para pemangku kepentingan bisa melakukan kampanye dengan biaya yang murah dan cara yang mudah. Penggunaan teknologi pada kehidupan politik di negara demokrasi disebut dengan digitalisasi demokrasi.
Media digital pada abad ini menjadi hal yang sangat krusial di bidang politik. Media sosial merupakan penopang utama dari komunikasi politik antara pemerintah dengan masyarakat, partai dengan partai, hingga antara pemerintah lintas negara. Melalui teknologi digital, masyarakat dapat berperan langsung dalam kehidupan politik. Melalui media sosial resmi negara maupun media sosial resmi para pemimpin negara masyarakat bisa memantau langsung kinerja pemerintah, menyampaikan kritik, berpendapat dan melakukan aksi protes pada kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan banyak orang. Adanya kemudahan dalam bersuara di media sosial dinilai sebagai perwujudan paling pas dari demokrasi Athena yang mana rakyat secara vokal langsung menyuarakan kegelisahannya pada penguasa.
Digitalisasi demokrasi telah memberikan perubahan pada pola berpolitik masyarakat global. Akun-akun resmi presiden negara menjadi ruang dialektika yang sering dimanfaatkan untuk menyampaikan aspirasi, situasi ini menjadikan media sosial sebagai alat penghubung pemerintah dengan masyarakat yang banyak digunakan pada saat ini. Media digital menawarkan fleksibilitas, kemudahan dan transparansi data yang tidak dimiliki media konvensional. Berbagai macam keunggulan teknologi digital menjadikannya sangat adaptif di sektor manapun. Teknologi digital memungkinkan untuk mengirim berita dan bertukar informasi dengan cepat, kemudahan dalam mendapatkan informasi ini pada akhirnya menyatukan kelompok yang memiliki diferensiasi sosial, ekonomi dan politik padahal dalam interaksi langsung secara tatap muka sulit untuk memulai komunikasi dalam belenggu perbedaan.
Metaverse dianggap sebagai versi media sosial yang paling mutakhir. Metaverse merupakan dampak dari perkembangan teknologi komunikasi yang memicu munculnya perkembangan media alternatif lain yang bisa memangkas jarak dan waktu sehingga memunculkan efisiensi di tengah masyarakat. Dalam Metaverse, manusia dapat berinteraksi tidak hanya sebatas pada mengobrol via chat atau video call tetapi juga dapat melakukan aktifitas fisik bersama-sama. Para pemimpin negara bisa saja melakukan rapat lintas batas negara dengan menggunakan Metaverse. Di Metaverse para pemimpin negara bisa mendiskusikan urusan hubungan bilateral, multilateral, kerja sama ekonomi hingga perjanjian damai. Selain itu, model demokrasi komunikasi digital seperti website partai, kampanye online hingga m-voting juga akan ikut bertransformasi menjadi lebih mutakhir daripada versi saat ini.
Transformasi demokrasi ini tentunya tidak akan terjadi sekaligus. Saat ini Metaverse terfokus pada pengembangan teknologi di bidang ekonomi. Metaverse sedang mengembangkan tanah virtual yang bisa diperjual belikan, membangun gedung-gedung mewah sebagai mall, tempat konser, kantor, membuat jalan untuk kendaraan, membangun perumahaan elit, hingga tempat nongkrong anak muda. Metaverse masih sibuk mencoba membangun ekosistem yang nyaman untuk bisnis akan tetapi di masa depan selain membangun ekosistem bisnis yang nyaman tercipta Metaverse juga akan mengembangkan ekosistem politik yang nyaman untuk masyarakat.
Kehadiran metaverse tak lain merupakan bentuk dari revolusi perkembangan teknologi yang dilakukan manusia. Berdasarkan teori determinisme teknologi, teknologi baik secara langsung ataupun tidak langsung merupakan penggerak utama perubahan sosial. Kebebasan bersuara dan kebebasan mendapatkan informasi adalah syarat utama dari demokrasi. Media digital sebenarnya merupakan media baru dalam komunikasi politik. Media digital baru berkembang pesat di tahun 2004 sejak ditemukannya Facebook oleh Mark Zuckerberg.
Dibandingkan dengan media sosial saat ini, Metaverse akan lebih baik dalam membentuk opini publik sebab Metaverse merupakan teknologi yang menstimulasi kelima indera manusia. Pada media sosial saat ini, informasi yang ada hanya akan memberikan ajakan persuasif pada otak manusia tetapi dalam kasus Metaverse ajakan tersebut tidak hanya mengajak manusia secara persuasif tetapi juga memberikan stimulus langsung pada indera manusia yang lain sehingga pengguna Metaverse akan lebih mudah untuk direkayasa opininya. Pada kasus media sosial, ketika pengguna mendapatkan suatu informasi mereka masih bisa mendapatkan informasi lainnya sebagai pembanding untuk mendapatkan kebenaran tetapi dalam Metaverse informasi bandingan itu bisa saja dihilangkan sama sekali demi kepentingan politik. Jika asumsi ini benar, maka Metaverse tidak akan menguntungkan demokrasi. Perusahaan teknologi akan menjadi aktor utama dalam dunia perpolitikan sebab elit politik tentunya akan sangat bergantung pada data yang mereka miliki. Di masa kampanye, melalui teknologi yang mereka kembangkan, pemilik perusahaan teknologi dapat memfasilitasi upaya untuk menodai citra lawan politik salah satu pihak, menyebarkan berita bohong dan menghasut masyarakat. Lebih mengkhawatirkannya lagi, semua upaya jahat tersebut dilakukan secara anonim –tak dikenali- sehingga akan sulit menemukan pihak yang bisa dimintai pertanggung jawaban ketika terjadi kerugian. Pada akhirnya yang benar-benar menguasai negara adalah para pemilik perusahaan teknologi sebab mereka bisa ‘menyetir’ penguasa dengan data yang mereka miliki di platformnya.
Fenomena komunikasi politik yang terus berkembang menjadi dinamika tersendiri bagi aktor politik. Negara sebagai sebuah organisasi tinggi yang menaungi masyarakat mau tidak mau ikut terseret arus perkembangan teknologi yang berkembang pesat. Informasi dan komunikasi memegang peranan penting dalam keberlangsungan demokrasi sebuah negara. Tanpa adanya kebebasan informasi dan komunikasi demokrasi di suatu negara akan tersendat. Kebebasan komunikasi informasi di dunia digital sulit dibendung, fakta dan kebohongan bergandengan dan sulit untuk dipisahkan. Masuknya demokrasi ke dalam media sosial masih memiliki kekurangan yang sangat banyak, mulai dari kebocoran data, penggunaanya yang tidak bijak selama kampanye pemilihan kepala negara, menjadi media pemisah masyarakat hingga menjadi media adu domba elit politik. Sampai saat ini belum ada negara yang bisa meminimalisasi kekurangan-kekurangan tersebut secara maksimal. Para elit politik di dunia masih ‘kewalahan’ dalam membendung arus informasi yang tidak terbatas di media sosial. Ketika masalah ini belum selesai, media sosial kemudian bertransformasi menjadi bentuk lain yaitu Metaverse. Metaverse tentunya akan membawa permasalahan yang lebih kompleks. Metaverse akan lebih bias daripada media sosial saat ini. Metaverse memungkinkan untuk menstimulasi semua indera manusia, stimulasi ini bisa direkayasa dan dimanipulasi oleh para elit baik elit politik maupun elit pemilik teknologi tersebut. Pertarungan politik di media sosial saat ini sudah begitu ‘mengerikan’, di masa mendatang umat manusia akan menyaksikan pertarungan politik yang lebih ‘mengerikan’ daripada sekarang sebab pertarungan politik tersebut tidak hanya mengubah cara pandang masyarakat secara persuasif tetapi juga mengubah cara pandang masyarakat secara langsung dengan melibatkan kelima indera manusia. Pada kasus Metaverse, manusia seolah didikte sesuai dengan keinginan pemilik teknologi tersebut. Manusia tidak lagi menjadi manusia aktual yang memiliki pemikirannya sendiri, bahkan informasi yang ada tidak akan lagi menjadi bebas tetapi informasi yang ada akan menjadi informasi yang sudah didistorsi lebih ekstrim daripada yang terjadi di media sosial saat ini. Adanya kemungkinan-kemungkinan penyimpangan ini menjadikan Metaverse sebagai ancaman bagi demokrasi.
Seluruh pandangan dari tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak merepresentasikan PCD Studies Center.
0 Komentar