Dewi Aulia Ferohida Putri

(2022)

Genderless fashion merupakan sebuah tren baru di Indonesia yang sedang hangat diperbincangkan. Pengaruh tren barat sejak lama telah menjadi panutan masyarakat Indonesia. Seperti ketika munculnya Elvis Presley pada tahun 1950-an dengan membawa tren potongan celana cutbray dan jaket berbulunya yang sangat diminati dalam skala internasional bahkan menjadi menjadi nomor satu di Indonesia. Lalu kemunculan The Beatles di tahun 1960-an dengan potongan rambut khas, jas dan celana bermotif bunga warna-warninya yang nyentrik. Tidak berhenti sampai disitu, kemunculan band-band rock pada era 90-an juga menyumbang peradaban fashion terbaru, dengan kemunculan Nirvana, Metalica, Blink 182, dan lain-lain. Kesimpulannya, trend fashion yang dibawakan masing-masing artist tersebut merupakan identitas yang mempresentasikan siapa mereka dan bagaimana mereka.

Trend fashion tersebut mendorng masyarakat kekinian untuk memiliki keterbukaan dalam memandang sebuah penampilan sebagai pengungkapan jati diri. Berbeda dengan Androgynous Fashion yang kemudian mengangkat konsep bagaimana seseorang berpakaian dalam mengeluarkan identitasnya melalui cara berpakaian yang mengusung penggabungan antara feminin dan maskulin, genderless fashion lebih menekankan kepada konsep bahwa pakaian tidak memiliki gender. Penulis mengamini pandangan dari genderless fashion bahwa tidak ada batasan dalam berpakaian, siapapun bisa menggunakan pakaian apapun yang membuatnya merasa percaya diri dan nyaman.

Sebagian besar masyarakat Indonesia dibesarkan di lingkungan yang menjunjung tinggi adat istiadat dan kebudayaan religius sehingga, fenomena genderless fashion ini mendatangkan pro dan kontra yang didasarkan pada nilai-nilai tradisional. Terdapat celaan bahkan makian ketika seseorang menampilkan cara berpakaian yang tidak merepresentasikan jenis kelaminnya, yang disertai stereotip tentang ‘orientasi seksual’ yang dianggap menyimpang dan tidak normal ketika mereka menggunakan cara berpakaian dengan konsep genderless fashion.

Gaya hidup (lifestyle) menurut David Chaney sebagai pendefinisi sikap, nilai-nilai, kemampuan materil, serta strata sosial seseorang. Di mana hal ini menekankan konsep kebebasan individual, cara seseorang dalam mengekspresikan dirinya untuk menjalani kehidupannya. Konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang menciptakan batasan-batasan gaya berpakaian bagi laki-laki dan perempuan, bahkan terdapat standarisasi bagi batasan berpakaian untuk rentang umur. Hal ini selalu dikaitkan dengan norma, nilai agama serta kesopanan, padahal menurut penulis hal tersebut adalah pencelaan terhadap Hak Asasi Manusia. Dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tahun 1948 mengenai Hak-Hak Asasi Manusia, tercantum di Pasal 3 bahwa tiap-tiap individu mendapatkan kebebasan dan keselamatan sebagai seorang individu. Pernyataan tentang kebebasan individu dapat merujuk kepada bagaimana seorang individu tersebut memilih sesuatu untuk kehidupan pibadinya sebagai individu yang memiliki kuasa penuh atas dirinya sendiri, termasuk didalamnya pemilihan tata busana dan gendernya.

Penulis pernah terlibat dalam beberapa percakapan bersama mahasiswa yang sangat keras menentang bagaimana seharusnya laki-laki terlihat dan terasa agak aneh ketika mengenakan rok, karena rok identik dan dikhususkan untuk perempuan. Padahal menurut Marc Jacobs, rok dalam penggunaanya menambah kenyamanan karena dapat membuat kulit lebih bernapas sehingga laki-laki tidak harus takut untuk mengenakannya. Juga selalu saja ada celetukan bahwa laki-laki tidak boleh berdandan karena akan terlihat tidak pantas, lagi-lagi dengan anggapan riasan hanya digunakan oleh wanita. Hal-hal seperti ini merupakan konstruksi budaya yang diciptakan dari stigma masyarakat terdahulu yang mengusung konsep bahwa hal yang digunakan untuk kaum hawa, maka akan terlihat aneh ketika laki-laki mengenakannya.

Meski demikian, teknologi memiliki pengaruh besar dalam kehidupan pribadi masyarakat Indonesia. Kini pemikiran-pemikiran yang menjunjung tinggi konsep HAM, yang kemudian ramai terfokus kepada kesetaraan gender dan LGBTQ, mengakibatkan pemikiran-pemikiran lama menjadi tidak lagi digunakan dalam memandang hal baru yang masuk.

Di era teknologi 4.0, Influencer kecantikan Indonesia yang merupakan seorang laki-laki berdandan selayaknya perempuan, kemudian menggunakan rok sebagai pilihan untuk melengkapi penampilannya serta, perempuan tomboy dengan pakaian nyentrik, berdandan metal ditambah dengan piercing serta tattoo tubuh yang tidak sesuai dengan standarisasi dandanan perempuan Indonesia mengakibatkan adanya pergeseran konstruksi sosial di Indonesia, khususnya di kalangan muda di kota-kota besar yang setiap hari bersentuhan dengan teknologi. Mengenai kontradiksinya, pemikiran anak muda yang menerima konsep genderless fashion  ini bergesekan dengan pemikiran lain yang memegang konsep mengenai kodrat dan ketuhanan (konsep religius). Sebagian besar anak muda yang menerima konsep  genderless fashion merupakan anak muda yang berada di kota metropolitan seperti Jakarta. Sementara untuk pemikiran golongan muda yang masih hidup di kota-kota kecil, pesisir, dan sebagainya, masih menganut stigma-stigma tradisional yang dapat dikatakan konservatif untuk menanggapi isu genderless fashion.

Penulis melihat bahwa Indonesia seperti siap-tidak siap dalam praktiknya mengenai perkembangan genderless fashion. Terlalu banyak kontra yang mencuat ke permukaan dengan opini publik yang tajam karena isu ini dinilai terlalu tabu dalam masyarakat karena mendobrak batasan-batasan yang sudah berakar kuat dalam tradisi turun-temurun. Mungkin saja tahun-tahun atau puluhan tahun ke depan genderless fashion akan semakin diterima karena mudahnya budaya asing masuk ke Indonesia, yang kemudian akan memunculkan kaum-kaum muda dengan gaya dan pola pikir baru yang dapat menerima dan pro terhadap kedudukan genderless fashion sebagai bentuk karakter atau identitas bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. Namun untuk saat ini, Indonesia belum sepenuhnya dikatakan menerima kehadiran individu atau kelompok yang mengusung gaya berbusana genderless karena dianggap tabu dan aneh bagi sebagian besar masyarakatnya.

Seluruh pandangan dari tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak merepresentasikan PCD Studies Center.

0Shares
Kategori: Opinion

1 Komentar

Elga Velisya · Oktober 25, 2022 pada 5:09 pm

Good article 🤩

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *