Ghefira Auliya Rabbani Anedin

 

Shirly Chislom pernah berkata “The emotional, sexsual, and psychological stereotyping of females begins when the doctors say “it’s a girl”.” Pada saat ini isu mengenai pelecehan seksual merupakan pandemi yang perlu kita selesaikan secara bersama-sama. Namun, melihat dari perkembangan penanganan isu ini negara Indonesia bisa dikatakan sebagai versi negaranya dari karakter Demian di film I am not an easy man. Film I am not an easy man sendiri merupakan sebuah film yang menceritakan Damien sebagai seorang yang memiliki semua keuntungan hidup dalam masyarakat patriarki.

Sebagaimana kita ketahui Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk hingga 273.87 juta jiwa. Dengan persentase jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.Telah terdata sebanyak  50,5% laki-laki dan 49,5% perempuan menurut data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Dengan banyaknya persebaran laki-laki bukanlah hal yang asing jika kebanyakan dari masyarakat masih menerapkan nilai-nilai patriarki. Adanya nilai patriarki yang sangat mengental ini secara tidak langsung sudah sebagai “chauvinisme” bagi masyarakat Indonesia. Seperti masih maraknya pemahaman bahwa memiliki anak laki-laki jauh lebih berharga dari pada perempuan karena dianggap akan menjadi seorang pemimpin serta penerus dari silsilah keluarga. Sedangkan anak perempuan hanya di distereotipkan sebagai calon ibu rumah tangga yang hak-haknya tidak terlalu penting dibandingkan laki-laki.

Berbeda halnya dengan negara Singapura yang bisa kita ibaratkan sebagai karakter Vivian pada film Moxie. Berbeda dengan Damien di film I am not an easy man cerita Moxie ini menunjukan karakter Vivian yang mengadakan sebuah komunitas feminist untuk meredakan sistem patriarki dan aksi misoginis yang kerap terjadi pada masa kini. Dari Global Peace Index 2018 Singapura konsisten menampilkan data bahwa negaranya memiliki tingkat pelecehan seksual yang rendah baik dari skala internal dan internasional, ketidaksetaraan gender yang kecil, bahkan memiliki perkembangan serta peluang pertumbuhan kesejahteraan untuk wanita di tahun-tahun yang akan datang.

Singapura memprioritaskan para perempuan serta anak-anak akan keamananya. Negara ini memberikan akses kepada perempuan untuk mendapatkan pendidikan seksual serta program keluarga berencana yang baik. Pada akhirnya perhatian yang diberikan pemerintah ini berdampak kepada gaya hidup para perempuan Singapura yang memiliki tingkat pendidikan, pendapatan pekerjaan, perlindungan serta mobilitas ekonomi yang sejahtera.

Perbedaan yang cukup signifikan ini tentunya membuat kita bertanya-tanya akan banyak hal. Mengapa negara yang sama-sama berada di kawasan Asia Tenggara bisa memiliki celah akan pelecehan seksual yang sangat jauh berbeda? Pelecehan seksual merupakan sebuah tragedi seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang. Pelecehan seksual ini pun tidak hanya terjadi melalui fisik, verbal juga sudah terhitung dalam pendekatan seksual. Dengan demikian, pelecehan seksual dapat kita lihat dari berbagai bentuk seperti menyentuh badan seseorang tanpa seizinnya, lelucon atau gurauan yang mengarah kepada hal-hal seksual dan lainnya sebagainya. Pelecehan seksual ini telah melanggar hak asasi manusia, serta salah satu bentuk diskriminasi yang harus kita musnahkan. Dengan banyaknya perempuan sebagai korban pelecehan seksual maka para perempuan ini perlu mendapatkan atensi lebih untuk mendapatkan perlindungan secara utuh dari negara maupun masyarakat besar agar mereka mendapatkan hak asasinya udah selalu merasa aman dan terhindar dari bayang-bayang keresahan atau ketakutan pelecehan seksual.

Perlu kita ketahui bahwa pelecehan seksual ini bisa terjadi kepada siapa saja dan dilakukan oleh siapa aja. Pelecehan seksual tidak dibatasi oleh status ekonomi seseorang atau status sosial seseorang. Perlu kita pahami dan ingat juga bahwa kejadian pelecehan, kekerasan seksual tidak menimpa kepada perempuan yang sudah berumur saja. Anak-anak dan remaja juga merupakan sasaran yang sering kali menjadi korban dalam permasalahan ini. Namun, perlu kita garis bawahi bahwa di Indonesia perempuan merupakan korban yang rawan sekali terkena kejahatan ini. Tak hanya dalam kriteria umur, pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja mulai dari lingkungan kerja, tempat umum bahkan dalam lingkungan keluarga sendiri pun pelecehan seksual kerap terjadi.[1]

Kata pelecehan seksual ini bisa kita kendal dengan suatu peristiwa seksual yang tidak mengenakkan jadi terjadi terhadap seseorang oleh orang lain. Pelecehan seksual ini pun dapat terjadi melalui berbagai cara baik yang berbentuk verbal atau fisik. Sebagai contoh pelecehan seksual tidak hanya pemerkosaan tetapi kita menyentuh orang tanpa consent, melontarkan ledekan atau kata-kata yang mengarah ke hal seksual, jika di era sekarang mengedit foto orang lain ke arah yang seksual dan hal lainnya. [2]

Melihat isu ini sebagai keresahan yang terjadi tak hanya di Indonesia dan Singapura saja. Maka sudah sepatutnya kita mulai mengedukasi diri serta berupaya dalam segenap kemampuan kita agar hak-hak perempuan dan anak bisa tercapai sepenuhnya. Kita bisa memulai dari melihat dan mengimplementasikan kebijakan atau solusi dari negara-negara yang sudah jauh lebih baik menangani isu ini seperti Singapura.

Terinternalisasinya pemikiran patriarki di Indonesia pada akhirnya bisa memicu berbagai dampak negatif kepada kaum perempuan kemunculan pelecehan seksual merupakan dampak yang cukup terasa dalam masyarakat. Dalam budaya patriarki terdapat nilai-nilai dimana seorang laki-laki dipandang sebagai seseorang yang gagah dan seorang yang harus di utama. Hal ini akhirnya menyebabkan pikiran bahwa laki-laki memiliki kekuasaan lebih dari pada seorang perempuan. Budaya ini pada akhirnya membuat pandangan bahwa laki-laki terikat akan maskulinitasnya serta perempuan terikat dengan feminitas yang dipandang sebagai hal yang lemah. Contoh sederhananya seperti mewajarkan laki-laki menggoda perempuan karena hal itu merupakan hal yang macho. Pemikiran seperti ini tak jarang pada akhirnya menunjukan tindakan victim blaming kepada korban. Pada kasus-kasus pelecehan seksual kerap kali perempuan yang justru lebih sering disalahkan baik dari pakaiannya yang disebut “menggoda”, waktu kejadian pelecehan, tempat kejadian, ataupun dari tingkah laku perempuan itu sendiri. Padahal korban tetaplah korban dan pelaku tetaplah pelaku tidak seharusnya ada justifikasi kepada pelaku yang melakukan pelecehan baik sekecil “catcalling”.

Dalam website Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada tahun 2001 hingga 2012 terdata sebanyak 35 kasus pelecehan seksual yang menimpa perempuan setiap hari. Pada tahun 2012 sebanyak 4.336 kasus yang 2.920 diantaranya terjadi di ranah publik. Pada tahun 2013 terjadi kenaikan yang cukup signifikan hingga 5.629 kasus yang mana dari data itu kita dapat mengetahui bahwa setidaknya setiap 3 jam sekali telah terjadi 2 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari data kasus pelecehan seksual terbagi menjadi dua kelompok korban yaitu kelompok remaja yang usianya mulai 13 hingga 18 tahun dan kelompok dewasa dari umur 25 hingga 40 tahun.[3]

Bahkan sebuah survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga dari Singapura bernama Value Champion menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling berbahaya dalam urutan kedua setelah India bagi perempuan. Hal ini didasari karena Indonesia memiliki akses yang rendah dalam bidang perawatan kesehatan, keterbatasan dalam fasilitas keluarga berencana, lemahnya perlindungan serta aturan mengenai keselamatan perempuan dan anak, hingga ketidaksetaraan gender yang sangat rendah. Survei ini pun menjelaskan bahwa meski sudah ada keterlibatan oleh pihak pemerintah serta pengupayaan dalam pemberlakuan undang-undangan mengenai keselamatan perempuan dan anak, adanya pandangan patriarki yang mengakar ini merupakan salah satu problema yang pada akhirnya mengkhawatirkan kesejahteraan para perempuan di negara Indonesia. Terlepas dari undang-undang yang melarang pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan jenis kekerasan lainnya di Indonesia, jajak pendapat pemerintah tahun 2016 menunjukkan bahwa sekitar 33% wanita berusia 15 hingga 64 tahun pernah mengalami kekerasan.

Singapura menjadi salah satu negara teraman untuk wanita dan anak bukan berarti negaranya ini bebas dari namanya kasus pelecehan seksual. Di Singapura kasus-kasus kekerasan seksual kerap kali menjadi berita utama setiap harinya. Negeri Singa ini pun mengalami permasalahan kekerasan terutama dalam bidang pelaporan yang berarti masih banyak kasus kekerasan seksual yang tidak pernah terungkap. Sejauh ini pemerintahan Singapura gempor-gempor melakukan aksi nyata untuk menekankan angka pelecehan seksual hal ini dibuktikan dengan pemerintah bekerjasama dengan berbagai lembaga seperti “Women Unbounded: demi mempelajari lebih dalam mengenai pelecehan seksual di negaranya.

Dari tahun 2017 hingga 2020, terdapat 9.200 kasus pelecehan seksual yang melibatkan para perempuan muda Singapura. Terdapat sekitar setengah dari korban pelecehan seksual ini berusia dibawah 20 tahun dengan 13 persen dari kasus yang ada itu berakhir dijalan hukum. Pelaku dari pelecehan seksual di negara ini terdiri dari berbagai lapisan masyarakat dengan hampir semua pelakunya bergender laki-laki. Beriringan dengan perkembangan zaman kini banyak pelecehan seksual yang terjadi berbasis teknologi. Kebanyakan korban merupakan anak-anak yang berada di bawah umur yaitu dibawah 16 tahun yang mana usia tersebut bukanlah usia legal untuk persetujuan seksual di Singapura. Maraknya kasus pelecehan seksual pemerintah Singapura pada tahun 2014 mengesahkan Protection from Harassment ACT (POHA). Parlemen Singapura mengesahkan ini untuk memperkuat hukuman bagi pelaku pelecehan seksual serta menata kembali hukum pelecehan di negaranya. Hadirnya POHA ini memberikan beberapa tindakan swadaya, pemulihan perdata beserta sanksi pidana yang akurat bagi pelecehan seksual.

Dari pemaparan diatas terlihat sekali kontrasnya penanganan serta perbedaan pengambilan tindakan untuk menangani kasus pelecehan seksual antara Indonesia Singapura. Sebagai orang awam tentunya kita akan berspekulasi atau mempunyai pemikiran bahwa wajar bagi Singapura untuk memiliki kasus pelecehan seksual yang jauh lebih rendah dibanding dengan Indonesia. Mereka merupakan negara yang kecil serta maju yang akhirnya menjadi privilege tersendiri untuk mereka selangka lebih baik dalam menangani kasus pelecehan seksual. Namun, disatu sisi juga Indonesia merupakan negara yang memiliki nilai ketuhan yang membuat semua warga negara wajib memiliki agama. Bahkan mayoritas dari penduduk Indonesia beragama Islam. Tapi mengapa justru negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan memiliki rasa kemanusiaan yang jauh lebih rendah? Sungguh ironis sekali rasanya melihat negara sendiri yang masih belum bisa membenahi permasalahan yang sangat krusial ini.

Belajar dari Singapura terdapat beberapa ide yang saya rasa cocok serta mampu membantu menyelesaikan permasalahan pelecehan seksual di Indonesia. Pertama, implementasi pendidikan seks dalam kurikulum resmi sekolah Indonesia.

Pendidikan seksualitas kita perlu menekankan rasa hormat terhadap persetujuan. Anak-anak harus belajar bahwa kesalahan kekerasan seksual terletak pada mereka yang melanggarnya, bahkan jika itu adalah seseorang yang mereka kenal dan percayai. Belajar tentang consent juga memperjelas bahwa mengganggu orang yang tidak sadar atau bahkan tidak voyeurisme merupakan hal yang salah. Harm happens in the absence of consent, not of protest, and creating a culture in which one’s body should never be violated starts with our schools.

 

            Kedua, menciptakan program “Aduan Center”. Program yang sebaiknya berada dibawah naungan polisi ini dapat menjadi tempat keimanan para korban untuk melaporkan pelecehan seksual serta tes medis yang bisa dikolaborasikan dengan rumah sakit terdekat. Aduan Center ini berfokus kepada melaporkan pelecehan seksual kepada polisi dalam kurun waktu 72 jam dengan catatan korban yang berusia dibawah 18 tahun memerlukan perizinan orang tua. Aduan Center ini juga dihadirkan dengan pembebasan akses ke perangkat pemerkosaan di rumah sakit mana pun, dan pilihan kapan dan apakah akan membuat laporan polisi untuk para korban. Hal ini agar memastikan bahwa mereka memiliki kekuatan untuk membuat keputusan penting tentang kesehatan dan kesejahteraan mereka, setelah insiden traumatis. Korban pelecehan seksual inipun akan mendapatkan “Bantuan Penanganan Serangan Seksual” yang merupakan program pemulihan korban bersama petugas polisi dan dokter. Hal ini membantu mencegah kemunculan trauma para korban.

Serangan seksual adalah sebuah pandemi, sebagian dipupuk oleh kepercayaan yang salah dan budaya yang salah mengasumsikan siapa yang menderita dan bagaimana hal itu terjadi. Akibatnya, kita hidup dalam masyarakat di mana korban disalahkan dan pelaku sering kali dimaafkan. Kabar baiknya adalah kita dapat menantang dan mengubah asumsi, sikap, dan perilaku kita sekarang, sama seperti kita dapat menantang dan mengubah hukum dan kebiasaan yang sudah mendarah daging mengenai apakah perempuan dapat bekerja atau memilih. Jalan ke depan jelas perbaikan legislatif harus disertai dengan pendidikan resmi dan informal tentang hubungan yang sehat, peran gender, dan batasan seksual. Dalam sistem peradilan pidana, sistem perawatan kesehatan, dan komunitas di mana korban dan penyintas tinggal, kita harus memastikan dukungan institusional yang lebih luas bagi para korban. Menghitung hari menuju Indonesia menjadi the next Moxie.

[1] Seksual Terhadap Perempuan, ‘Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan’, Lex Et Societatis, 1.2 (2013), 39–49.

[2] Rosania Paradiaz and Eko Soponyono, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual Anak Di Kota Manado’, Lex Crimen, 7.7 (2018).

[3] Paradiaz and Soponyono.

 

DAFTAR PUSTAKA

Paradiaz, Rosania, and Eko Soponyono, ‘Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual Anak Di Kota Manado’, Lex Crimen, 7.7 (2018)

Perempuan, Seksual Terhadap, ‘Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan’, Lex Et Societatis, 1.2 (2013), 39–49

Kontinentalist.com (8 Sep. 2021) Sexual Assault and Abuse in Singapore Need More Than The Law. Diakses tanggal 4 Maret. 2022, dari https://kontinentalist.com/stories/sexual-assault-and-abuse-in-singapore-need-more-than-the-law

Singaporelegaladvice.com (Jan 2. 2020) Sexual Harrassment in Singapore Workplace Sexual Harrasment. Diakses tanggal 6 Maret, dari https://singaporelegaladvice.com/law-articles/sexual-harassment-in-singapore-workplace-sexual-harassment/

Theaseanpost.com (10 Mar. 2019) Indonesia Aseans Most Unsafe Country Woman. Diakses tanggal 4 Maret, dari https://theaseanpost.com/article/indonesia-aseans-most-unsafe-country-women#:~:text=A%20recent%20study%20has%20painted,as%20the%20third%20most%20dangerous.

Thejakartapost.com (6 Mar. 2019) Indonesia Ranked Second Most Dangerour Place For Wokan In Asia Pacific. Diakses tanggal 4 Maret, dari https://www.thejakartapost.com/news/2019/03/06/indonesia-ranked-second-most-dangerous-place-for-women-in-asia-pacific-study.html

0Shares
Kategori: Opinion

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *