Penjajahan Intelektual: Pemikiran Syed Hussein Alatas dan Krisis Manusia di Pasar Ide
S. W. Wicaksana[1]
Penjajahan tidak pernah datang dengan satu makna; di dalamnya mengantre berbagai agenda. Mereka yang terjajah, tidak pernah usai dengan proklamasi—sebagaimana mereka yang menjajah, tidak pernah murni berdagang atau tentang tentara asing dengan sepatu lars tebal berderap ke negeri baru. Penjajahan, pada akhirnya, selalu melanjutkan agendanya pada hal yang lain, pada tempat yang paling tersembunyi, abstrak, dan esensial; pada pemikiran.
Jika ada salah seorang yang dapat digelari sebagai seorang yang Par Excellence mengenai kajian kolonialisme yang dikontekstualisasikan pada masa sekarang, maka hampir seluruh kemungkinan jatuh kepada Hussain Alatas—kakak dari Prof. Naquib Alatas. Terlepas dari agenda politiknya di Malaysia, pemikiran-pemikirannya masih dapat diterima dalam kaidah yang signifikan untuk menjawab tantangan-tantangan yang berasal dari huru-hara zaman kiwari.
Beberapa pemikirannya dapat disadur dari tulisannya seperti The Myth of Lazy Natives yang menjelaskan mengapa stigma mengenai orang Melayu itu pemalas dapat muncul ke permukaan. Dalam penjelasan Hussein Alatas, stigma tersebut muncul lantaran produk kolonialisme Eropa yang ratusan tahun bercokol di daratan Malaysia, Singapura (dulu disebut Temasek), dan Indonesia. Lebih lanjut, mengenai stigma tersebut, orang-orang Melayu hanya melanjutkan harga diri mereka dalam menanggapi para penjajah Eropa dengan tawaran menjadi Ambtenar (ASN, kalau sekarang).
Selain itu, salah satu magnum opus dari Hussein Alatas adalah perbincangan mengenai Intellectual Imperialism atau Penjajahan Intelektual dalam tulisannya yang Intellectual Imperialism: Definition, Traits, and Problems. Hussein Alatas berhasil dalam menjelaskan bahwa penjajahan tidak sebatas pada eskploitasi sumber daya alam dan manusia, tapi jauh meruncing lebih dari itu; pada bidang ilmu dan keilmuan.
Penjajahan 101
Lantas, apa yang dapat disebut sebagai sebuah penjajahan? Apakah penjajahan hanya sebatas eksploitasi sumber daya alam dari bangsa tertentu? Atau, pada dasarnya lebih jauh dari itu, seperti budaya yang terjajah dan dijajah akan menghasilkan mentalitas yang inferior—rendah. Dari inferioritas itu, kita kerap menemukan ungkapan-ungkapan yang dipoles dengan kerendahan diri ekstrem terhadap sesuatu yang berasal dari tempat yang dianggap lebih canggih, yaitu Barat. Sehingga, segala hal selalu berangkat dari Barat dan kerap bermula dari Barat. Barangkali tulisan ini memerlukan sebuah penafian; bukan pula ditulis untuk menafikan segala hal yang berasal dari Barat atau Barat itu sendiri, namun lebih kepada cara pandang kita mengenai Barat dan refleksi kritis pada mental kita sekarang ini.
Dalam penjelasannya, Hussein Alatas memetakan apa itu penjajahan terlebih dahulu. Baginya, imperialisme lebih dipandang sebagai sebuah klaster. Sebabnya, ada banyak ragam mengenai imperialisme. Bagi ilmuwan sosial, ada pembahasan sejarah imperialisme. Lebih lagi, ada pula kajian sosiologis mengenai imperialisme itu sendiri yang kemudian memberikan turunan pada kajian imperialisme di bidang politik, ekonomi, dan sosial. Tapi, secara spesifik, terdapat absensi mengenai imperialisme dalam bidang intelektual.
Hussein Alatas kemudian melanjutkan penjelasan ontologisnya mengenai penjajahan. Setidaknya, terdapat enam kriteria untuk menentukan apa yang dapat disebut sebagai bentuk penjajahan. Pertama, Eksploitasi. Hal ini merupakan tolok ukur paling prima dari sebuah penjajahan karena setiap agenda imperialisme selalu lekat dengan praktik eksploitasi, baik kepada manusia, alam, bahkan bangsa (penekanan: bangsa, bukan negara) itu sendiri sebagai yang-terjajah. Kedua, adanya bentuk pengawasan (tutelage) yang ditujukan kepada orang-orang yang terjajah untuk melakukan sesuatu atas dasar tujuan tertentu. Orang-orang yang terjajah diajarkan beberapa hal secara terorganisir yang ditata oleh kekuasaan penakluk (subjugating power). Ketiga, konformitas atau persesuaian. Aktor yang melakukan penaklukan memiliki keinginan agar yang-terjajah untuk menyesuaikan pada beberapa aspek kehidupan si penjajah, seperti aturan, norma, bahkan sampai kaidah organisasi. Keempat, orang-orang yang terjajah menjadi kelompok kedua dalam beberapa aspek kehidupan (secondary role in the set up). Dalam kriteria ini, dapat dianalogikan sebagai “warga negara kedua”, bukan “yang utama”. Kelima, adanya penjelasan ilmiah yang mengafirmasi bahwa bentuk penjajahan merupakan agenda yang penting dalam perkembangan peradaban manusia. Tahap ini menjadi landasan intelektual bagi para penjajah untuk meng-adab-kan (civilize) orang-orang yang terjajah (…the business of the imperialist power to civilize the people under subjugation.). Keenam, penguasa imperialis. Di berbagai tempat terjajah mana pun, tempat atau daerah tersebut akan dikelola oleh orang-orang dengan mentalitas inferior. Jika kita berkaca pada Malaysia dan Singapura pada era kolonialisme, institusi pemerintahan kerap dikepalai oleh delegasi Inggris, sebagaimana Indonesia pada era Hindia Belanda; dari aparatur kepala pemerintahan sampai perkebunan diisi oleh delegasi Belanda.
Sebagai catatan, para delegasi yang diberikan mandat untuk mengepalai daerah-daerah persemakmuran (jajahan) tersebut merupakan orang-orang buangan. Para delegasi tersebut tidak mampu menempati posisi dan jabatan strategis di negara asal mereka.
Korelasi Paralel: Penjajahan dan Penjajahan Intelektual
Dalam melihat posisi wacana yang diajukan oleh Syed Hussain Alatas, Penjajahan Intelektual, pada dasarnya memiliki sebuah korelasi yang paralel dengan penjajahan-penjajahan dalam bentuk lain, seperti politik dan ekonomi. Terlebih pada masa sekarang ini ketika kita semua hidup dalam pasar yang diisi oleh berbagai ide—tinggal menjadi konsumen yang bijak untuk membeli ide mana yang bagus, lagi relevan.
Korelasi antara diskursus Post-Kolonialisme yang diajukan Hussain Alatas tersebut dapat direfleksikan pada enam kriteria mengenai imperialisme di atas. Pada kategori Eksploitasi, bangsa yang terjajah kerap dipaksa untuk mengekspor bahan-bahan mentahnya kepada pusat kekuasaan penjajah. Fenomena tersebut, pada dasarnya sama terjadinya dengan eksploitasi di lingkup intelektual ketika orang-orang yang terjajah akan mengekspor berbagai data dan informasi kepada pusat penjajah yang kemudian lahir berbagai publikasi di luar negeri dengan penulis asing pula. Tentu, penggunaan kata “asing” tidak memiliki tendensi kepada Xenophobia. Kerap kita saksikan, beberapa ilmuwan atau akademisi berlomba-lomba untuk membombardir berbagai publikasi internasional tertentu atau sekadar menjadi informan untuk akademisi luar yang berbicara aktif mengenai daerahnya sendiri.
Pada kriteria kedua, yaitu Tutelage, sebuah formulasi pendidikan yang dikhususkan untuk para koloni. Para penjajah selalu mengidap penyakit Messiah Complex yang selalu berangkat dengan argumentasi bahwa para koloni tidak mampu mengorganisir bangsa dan daerahnya sendiri, sehingga perlu diawasi dan diajarkan. Tutelage sendiri memiliki pemaknaan yang dekat dengan “Tutor”, sebagaimana pengawasan yang diberlakukan pada sistem pendidikan. Jika pada masa kolonialisme tutelage digunakan agar ‘mendidik’ para koloni agar mampu menjalankan kepentingan kolonial dalam mendapatkan cara-cara tertentu atau technical know-how, penjajahan intelektual yang ada sekarang ini lebih mengarah pada keberadaan para akademisi yang tidak memiliki intellectual know-how. Konsekuensinya, muncul sebuah kebutuhan yang berbentuk ‘pendidikan yang tidak langsung’. Fenomena-fenomena tersebut dapat dilihat pada bagaimana para akedemisi menempatkan akademisi luar negeri lebih otoritatif dibandingkan dengan para akademisi atau ilmuwan dalam negeri.
Lebih lanjut, pada kriteria Konformitas, di era kolonialisme, konformitas atau persesuaian diberlakukan sampai kepada kaidah etik, seperti cara duduk, makan, berpakaian, sampai hal-hal privat dan preferensial lainnya. Pada konteks penjajahan intelektual, eksploitasi akan konformitas tersebut berlaku pada teori dan metodologi—jika tidak sesuai dengan teori dan metodologi yang berlaku atau tertentu, maka agenda intelektual yang dilakukan tidak memiliki otoritas keilmuan atau bahkan dianggap tidak berlaku begitu saja. Terdapat banyak tuntutan mengenai metodologi, analisis, bahkan pertanyaan penelitian yang diarahkan pada kondisi kekinian di luar negeri. Padahal, penyesuaian yang dipaksakan tersebut juga telah dibantah oleh diskursus Against Method-nya Paul Feyerabend. Beliau menjelaskan bahwa apa yang terjadi di dunia ini pada dasarnya terjadi begitu saja tanpa ada pakem tertentu yang dapat memaksa; anything goes.
Akan tetapi, Hussain Alatas kemudian memberikan penjelasan lanjutan agar dalam pembacaan teksnya tidak memiliki kecacatan berpikir dalam mengelola cara pandang kita terhadap dunia (worldview). Baginya, terdapat permasalahan lain sebagai keberlanjutan dari Penjajahan Intelektual; imitasi budaya imperial, mentalitas budak, dan perbudakan intelektual atau dalam bahasa Hussain Alatas; Intellectual Slavery, Bondage, dan Imitation.
Dalam kerangka problematik tersebut, Hussain Alatas memberikan penekanan bahwa fenomena perbudakan intelektual memiliki perbedaan mendasar dengan asimilasi kreatif dari budaya atau produk luar negeri. Dalam tulisannya, Hussain Alatas memberikan analogi mengenai perbedaan antara asimilasi kreatif terhadap produk budaya luar negeri dengan mentalitas perbudakan. Beliau memberikan contoh bahwa jika dia sakit, lalu mengonsumsi obat yang diproduksi Barat dan terbukti efektif, itu bukan bentuk dari mentalitas perbudakan (bondage). Tapi, apa yang dilakukan merupakan bentuk dari ketergantungan yang alami (genuine dependence). Namun, jika pada saat bersamaan, terdapat penolakan terhadap tawaran mengenai obat-obat herbal yang diproduksi oleh peradaban Tiongkok tanpa melakukan verifikasi dan menjunjung tinggi produk peradaban Barat, barulah dapat dikategorikan sebagai perbudakan intelektual (Intellectual Bondage).
Lagi, bagi Hussain Alatas, kita memang harus melakukan asimilasi segala hal yang dianggap signifikan untuk keberlanjutan peradaban kita. Di saat bersamaan, setiap orang pada peradabannya masing-masing harus menjadi independen, praktis, dan meningkatkan kualitas peradaban kita ke tahap maksimum. Sehingga, kita dapat mengenal diri (peradaban sendiri), menjadi individu yang merdeka, tanpa harus melakukan imitasi ekstrem terhadap budaya dan sistem dari luar.
Intelektual yang Terjajah: Krisis Kekinian & Pasar Ide
Beberapa di antara kita kerap naif bahwa semangat zaman pada masa kini adalah pasar ide. Semua tempat adalah pasar dengan ide di dalam etalase, sementara kita adalah pembeli yang sebenarnya dituntut untuk menjadi konsumen yang bijak. Tapi, alih-alih menjadi konsumen yang bijak, kita kerap memenjara diri kita dengan tolok ukur yang acak dan tidak percaya diri. Dalam bahasa Hussain Alatas—ia meminjam terminologi Marx—terdapat kontribusi para intelektual komprador yang menjadi kerikil dalam sepatu peradaban. Sehingga, kita memperpanjang mentalitas budak yang telah menjadi kanker di peradaban kita.
Berapa banyak, mentalitas akademisi, guru besar, atau bahkan profesor yang kita miliki kemudian minder jika karya akademik mereka tidak terpublikasi di ranah internasional, atau bahkan di Barat sekalian. Padahal, karya akademik yang baik tetaplah baik dan memiliki kepantasan (merits), terlepas dipublikasi di Barat atau pun tidak sama sekali. Seseorang yang indah (beauty), tetap saja indah tanpa harus mendapatkan validasi juri pageant internasional.
Permasalahan kita terletak di sini; ketika kita minder dan segala hal harus lolos standarisasi Barat. Di ranah intelektual, kita kerap dicekoki pertanyaan-pertanyaan mengenai metodologi apa yang kita gunakan sehingga karya akademik kemudian mendapatkan validasi. Padahal, argumentasi (thesis) tetaplah argumentasi dengan kebebasan metodologi apa yang digunakan. Tapi, tentu saja kita tidak menampik habis-habisan metodologi produk Barat yang telah kita kenal selama ini tanpa verifikasi. Sama halnya dengan amarah Feyerabend; dominasi metodologi tertentu yang kemudian menjadi pakem tersebutlah yang harus didestruksikan.
Alhasil, kita kerap menemukan dari level atas sampai akar yang selalu memiliki landasan bahwa orang-orang tertentu dari luar negeri sana memiliki otoritatif. Sementara itu, intelektual organik di sudut kampung tidak masuk kriteria. Lebih lanjut, kita selalu menjadi konsumen di pasar ide, tidak pernah memproduksinya, lebih-lebih hanya mengimitasi produk—lalu, kita terpenjara dalam segala bentuk kebergantungan dan miskin kreativitas. Pernyataan klise tersebut, masih signifikan; kita tidak pernah benar-benar merdeka.
Hussain Alatas menyebut fenomena ini sebagai “Captive Mind” atau “Pikiran yang Terpenjara”. Sebuah cara berpikir yang sangat imitatif, tidak kreatif, dan segala tolok ukur pemikiran yang sah dan rasional harus selalu dikategorikan dan berasal dari Barat
[1] Wicaksana, Satya Wira. Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNRI angkatan 2012 dan Alumnus Pascasarjana Universitas Pertahanan Republik Indonesia Cohort 11. Aktif di FAIR.SEA dan agenda publik lainnya. Sekarang sedang mengajar sebagai dosen Hubungan Internasional FISIP UR.
0 Komentar